Pada era
globalisasi yang sedang kita alami sekarang ini, kita sebagai
manusia ditantang untuk bersikap kritis. Globalisasi dapat dimaknai
sebagai
sebuah tanda
kemajuan zaman yang bernilai positif, akan tetapi juga harus
disadari bahwa globalisasi memberikan berbagai tantangan bagi kita.
Salah satu tantangan yang muncul tampak pada pola pikir generasi muda
dewasa ini, dalam konteks komunikasi dan budaya.[1]
Generasi muda merupakan generasi yang paling mudah terpengaruh oleh arus-arus globalisasi. Melekatnya media komunikasi pada orang muda membanjiri mereka dengan banyak sekali informasi. Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, muncul fenomena di mana generasi muda muda menjadi orang-orang yang latah terhadap segala sesuatu yang ditawarkan oleh dunia global melalui sarana media. Sikap latah dan kecenderungan untuk jatuh dalam budaya massa dapat terlihat dalam keseharian, misalnya ketika anak muda ramai-ramai membeli produk kecantikan, dengan kerangka “cantik” yang sebenarnya dibuat menurut rekaan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keuntungan.
Di dalam arus global orang muda juga menjadi mudah untuk terhanyut dalam pergaulan media sosial yang rentan dengan kepalsuan dan kurang reflektif. Pergaulan di era globalisasi juga identik dengan keterarahan terhadap gaya hidup ala selebritis yang disuntikkan melalui media massa. Hal ini dapat meningkatkan kecenderungan manusia untuk lebih mengejar tuntutan-tuntutan gaya hidup hedonis materialistis. Arus-arus tersebut membuat wacana mengenai etika dan nilai-nilai luhur menjadi tenggelam dan kehilangan daya tariknya ketika harus berhadapan dengan arus-arus global yang penuh dengan kepentingan di baliknya. Orang muda menjadi semakin sulit untuk mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Generasi muda dewasa ini menjadi tidak mampu lagi untuk berpikir dan bertindak secara kritis terhadap hadirnya arus-arus dalam dunia global.
Generasi muda merupakan generasi yang paling mudah terpengaruh oleh arus-arus globalisasi. Melekatnya media komunikasi pada orang muda membanjiri mereka dengan banyak sekali informasi. Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, muncul fenomena di mana generasi muda muda menjadi orang-orang yang latah terhadap segala sesuatu yang ditawarkan oleh dunia global melalui sarana media. Sikap latah dan kecenderungan untuk jatuh dalam budaya massa dapat terlihat dalam keseharian, misalnya ketika anak muda ramai-ramai membeli produk kecantikan, dengan kerangka “cantik” yang sebenarnya dibuat menurut rekaan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keuntungan.
Di dalam arus global orang muda juga menjadi mudah untuk terhanyut dalam pergaulan media sosial yang rentan dengan kepalsuan dan kurang reflektif. Pergaulan di era globalisasi juga identik dengan keterarahan terhadap gaya hidup ala selebritis yang disuntikkan melalui media massa. Hal ini dapat meningkatkan kecenderungan manusia untuk lebih mengejar tuntutan-tuntutan gaya hidup hedonis materialistis. Arus-arus tersebut membuat wacana mengenai etika dan nilai-nilai luhur menjadi tenggelam dan kehilangan daya tariknya ketika harus berhadapan dengan arus-arus global yang penuh dengan kepentingan di baliknya. Orang muda menjadi semakin sulit untuk mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Generasi muda dewasa ini menjadi tidak mampu lagi untuk berpikir dan bertindak secara kritis terhadap hadirnya arus-arus dalam dunia global.
Di
tengah arus globalisasi ini, kita dihadapkan pada pertanyaan; apakah kita hanya akan terus terombang-ambing
saja tanpa daya dalam
arus-arus
globalisasi? Atau,
apakah kita sebenarnya
mampu untuk bersikap dan
bertindak
kritis terhadapnya sehingga tidak mudah terbawa
arus? Inilah pertanyaan yang dapat membuat kita berpikir kembali akan realitas
hidup yang sedang kita alami saat ini. Daya kritis perlu untuk dihidupkan kembali sehingga
orang muda tidak menjadi manusia-manusia yang kehilangan makna dan tidak mudah
hanyut terbawa dalam arus globalisasi. Melalui dihidupkannya daya kritis dan reflektif diharapkan orang muda menjadi sosok-sosok yang berdaya di dalam globalisasi.
Upaya untuk berpikir kritis perlu dituangkan melalui
penyaluran yang tepat sehingga
tidak hanya berhenti di kepala saja. Pemikiran-pemikiran kritis perlu untuk dihadirkan di kehidupan nyata dalam
wujud yang menarik dan dapat dimengerti,
sehingga
membuat khalayak dapat
menangkap pemikiran-pemikiran tersebut. Kemudian muncul
pertanyaan, bagaimanakah pemikiran kritis kita terhadap zaman ini dapat dituangkan?
Berdasarkan
uraian di atas, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan yang muncul terkait dengan
orang muda dan arus globalisasi dengan mengadakan
festival teater bagi siswa-siswi SMA se-Surabaya. Festival teater
diselenggarakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun keenam berdirinya
Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, sekaligus sebagai
bentuk sumbangsih terhadap
masyarakat, khususnya masyarakat Surabaya. Teater dinilai dapat menjadi sarana
dalam mengeskpresikan dan menyampaikan pemikiran kritis atas situasi zaman. Teater model ini disebut teater kritis/teater epik.[2]
Teater Kritis dapat ditonton oleh
banyak orang dan dapat digelar di mana pun bahkan tanpa panggung. Salah satu
hal penting dalam teater ialah pesan dapat tersampaikan. Dengan kata lain,
teater dalam hal ini dapat sungguh menjadi wadah dalam menyampaikan pemikiran
kritis terhadap kondisi saat ini khususnya tentang globalisasi.
Generasi muda yang dalam hal ini ialah anak-anak SMA
dipilih untuk menjadi subjek agar mereka dapat menjadi generasi muda yang
kritis dan tidak terbawa arus zaman. Mereka boleh saja larut di dalamnya,
tetapi tidak hanyut bersama arus yang ada. Dalam proses kegiatan festival
teater nantinya, siswa-siswi SMA diajak untuk berpikir tehadap kondisi zaman
yang secara langsung mereka alami dalam hidup sehari-hari. Mereka diajak untuk
berefleksi dan memaknai hidup ini lebih mendalam. Melalui teater, mereka juga
diajak untuk menghayati nilai-nilai yang disampaikan lewat peran dan refleksi
mereka. Di sinilah, proses pembentukan diri terjadi. Tentu hal ini menjadi
tantangan yang tidak mudah bagi mereka untuk mampu membawakan sebuah teater
yang mengandung nilai-nilai filosofis. Tetapi, memang perlu keyakinan besar
bahwa generasi muda saat ini dapat ambil bagian dalam mengkritisi arus
globalisasi yang terjadi.
[1]Ibrahim,
Idi Subandi dan Akhmad, Komunikasi dan
Komodifikasi : “Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi”, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2014, 36.
[2]Holthusen, Hans Egon, “Brecht’s Dramatic Theory”, dalam Brecht
a Collection of Critical Essays.Ed. Peter Demetz. Englewood Cliffs, N.J:
Prentice-Hall, Inc. 1962, 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar